Pameran Lukisan

Ilustrasi: https://www.mutualart.com
Pada malam pameran lukisan, lampu-lampu di jalanan itu bergemerlapan. Kulihat tuan-tuan dan nyonya-nyonya melangkahkan kakinya keluar dari kendaraan yang mereka tunggangi menuju ke sebuah gerbang seperti Plengkung Titus yang dibangun di ujung Forum Romawi pada tahun 80-an Masehi. Terlihat satu persatu tuan dan nyonya-nyonya masuk ke dalam gerbang, dan menghilang pada sebuah gedung.

Perlahan terdengar suara langkah kaki mendekat. Sayup-sayup terdengar suara parau berbicara.
“Mari Adrik kita harus segera masuk, pamerannya sepertinya sudah di mulai.”
“Baik,” jawabku dengan tegas.
Kami berdua pun melangkahkan kaki kami menuju gerbang yang seperti Plengkung Titus itu.
“Mari masuk Adrik,” menghela nafas.

Terlihat dua orang prajurit sedang berjaga. Mereka berseragam jas militer merah, lengkap dengan topi hitam dari kulit beruang sambil menenteng sebilah senapan. Kami berdua pun masuk ke dalam gedung setelah melewati pemeriksaan dari kedua prajurit yang berseragam jas militer merah itu. 
Kulihat orang-orang memandang kesatu sorot lampu kecil yang bermain di muka lukisan-lukisan yang mengantung pada sudut-sudut dinding. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang datang seperti terpana melihat lukisan-lukisan yang mengantung di setiap sudut dinding. Para pelayan terlihat sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman di atas meja.
Seorang diri aku terpana menatap sebuah lukisan yang tepat berada di belakang tiang bangunan yang besar sekali. Terlihat seorang lelaki sedang menyenderkan tubuhnya pada sebuah pagar kayu yang sudah lapuk, dan reot. Tepat di belakangnya terdapat seekor kuda. Tampak lemak-lemak di wajah seseorang dalam lukisan itu telah menyusut tinggalkan kerutan-kerutan menghiasi wajahnya. Membuat seorang dalam lukisan itu tampak kering dan berkeriput. Badannya yang kering itu tertutupi oleh sehelai kain yang melekat pada tubuhnya. Kain itu terlihat lusuh seperti tak pernah ditanggalkan dari tubuhnya yang ramping  selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun. Di tangannya ia memengang seutas tali yang melingkar pada tangan kirinya. Pada tangan kanannya lelaki itu memengang secangkir kopi. Dan topi koboi yang telah termakan zaman melekat di kepalanya menutupi helai demi helai rambutnya. Raut wajah lelaki itu terlihat pucat dalam lukisan itu.

Seorang pria itu tepat berdiri di belakangku. Matanya merah. Dari binar bola matanya tampak berkobar-kobar amarah. Seketika kupalingkan perhatianku dari lukisan itu dan menghadap kepadanya, raut wajahnya berubah seketika, begitu pula dengan binar bola matanya.

“Cobe!” kurangkul ia dengan erat. Ialah sahabatku yang berhasil menjadi seniman besar di negeri ini. Ia adalah orang yang sangat jenius.
“Kapan kau datang Ad?”
“Aku baru saja datang bersama Eddy.”
“Di mana Eddy?”
“Ia sedang berkeliling melihat lukisan-lukisanmu yang luar biasa ini Cob. Sungguh sangat menakjubkan.”
“Terima kasih Ad. Apakah kau ingin melihat-lihat yang lain?”
Tubuhku terasa kaku dan seakan enggan untuk berpaling dari lukisan di balik tiang besar itu. Untuk mengikuti ajakan Cobe.
“Baiklah, nikmati saja lukisanya. Nanti bila ingin menemui aku, aku berada di depan untuk berterima kasih kepada pengunjung yang sudah hadir.”
“Baiklah Cob.”

Ketika kupalingkan kembali pandanganku terhadap lukisan itu. Ku lihat mata seseorang dalam lukisan itu mengeluarkan darah. Kuusap kedua bola mataku berkali-kali masih saja sama apa yang ku lihat. Aku seakan tak percaya, lukisan itu menangis, menangis darah. Melihat darah aku menjadi teringat akan masa laluku.

Pagi itu aku bersama keluargaku harus  pergi mengungsi, karena kampung kami di serang oleh sekelompok orang yang memakai jubah, mereka membawa tombak, serta pedang, dan panah. Mereka memperkosa para perempuan dan membunuh para suami. Mereka membawa anak-anak pergi untuk dijadikan budak. Untuk anak-anak gadis mereka menjualnya untuk dijadikan budak agar dapat melayani hawa nafsu orang-orang berjubah di kota.

Saat kami sedang melakukan perjalanan untuk mengungsi kami dicegat oleh beberapa orang berjubah. Mereka lalu memengal leher ayahku tanpa ampun. Kulihat ayahku menangis, sebelum dipenggal lehernya oleh orang-orang berjubah itu. Dari kedua bola matanya, mengeluarkan tangis darah. Ibuku diperkosa. Mereka memperkosa ibuku secara sadis di hadapan adik-adikku serta kakak gadisku yang malang. Lalu mereka membunuh ibuku. Adik-adik serta kakak perempuanku, mereka dibawa pergi oleh orang-orang berjubah itu entah kemana. Sedangkan aku bersembunyi di balik semak-semak. Aku masih sangat muda kala itu umurku mungkin baru 12 tahun. Kejadian hari itu sangat membekas padaku hingga sekarang. Mungkin sejarah harus selalu ada pertumpahan darah. Mengapa perlu? Dan mungkin itu akan menjadi pertanyaan banyak orang.  

Kuarahkan kembali pandanganku kearah lukisan itu, kulihat dengan teliti, ternyata sosok dalam lukisan itu menyerupai sosok ayahku. Aku dulu memang sempat memberikan foto ayahku kepada Cobe untuk dilukiskannya sebagai kenang-kenangan, karena hanya foto itu kenang-kenanganku terhadap keluargaku. Foto itu sudah mulai buram dan kusam sehingga gambar dalam foto tampak tidak jelas. Apakah cobe benar-benar melukisnya untukku. Aku tak tahu, mungkin pula lukisan itu hanyalah sebuah lukisan biasa karya imajinasi Cobe.

Terdengar langkah kaki seseorang mendekat menghampriku. Lalu menepuk pundakku.

“Adrik, mengapa sedari tadi kau memandang lukisan ini terus-menerus?”
“Bagaimana?”
“Kamu sedari tadi kulihat hanya memandang lukisan ini terus?”
“Oh, mari kita lihat yang lain.”
“Pamerannya sudah akan segera selesai Ad.”
“Baiklah, apakah kita akan pulang?”
“Ada apa denganmu Ad? Kau terlihat aneh sekali.”
“Tidak ada apa-apa teman, aku baik-baik saja.”
“Mari, Cobe telah lama menunggumu di depan.”

Kami berdua datang menghampiri Cobe. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang sedari tadi berkeliaran memandang lukisan-lukisan, kini telah hilang satu persatu. Tinggal kami bertiga dalam ruangan itu, serta para pelayan yang terlihat masih saja sibuk membersihkan sisa makanan para tuan dan nyoya yang datang.

“Bisa berbicara sebentar Cob?”
“Bagaimana sahabat?”
“Bisa bicara sebentar, tentang lukisan di balik tiang itu?”

Cobe membawaku ke hadapan lukisan itu kembali. Sesampainya di depan lukisan. Aku tak melihat darah yang sedari tadi keluar dari kedua bola mata seseorang yang ada dalam lukisan itu.   

“Seseorang dalam lukisan itu seperti ayahku Cob? Apa dia ayahku?” menghela nafas, sembari memulai percakapan. Cobe terdiam.
Menghela nafas “Iya Ad, seseorang dalam lukisan itu adalah ayahmu.”
Adrik tak kuasa menahan air matanya. Tak terasa air mata itu telah mengalir dari kedua kelopak matanya.
“Apakah kau melukisnya dari foto yang aku berikan 24 tahun yang lalu?”
“Iya, aku melukisnya untukmu.”
“Terima kasih Cob.”

Aku sebenarnya tidak terlalu ingat bagaimana wajah ayahku, ibuku, adik-adik serta kakak gadisku. Aku terlalu muda kala itu, sudah terlalu lama rasanya bila aku harus mengingat kejadian yang merengut nyawa kedua orang tuaku, serta memisahkan aku dari adik-adikku, serta kakak gadisku yang tak pernah kujumpai kembali keberadaannya. Mungkin mereka sudah menyusul kedua orang tua kami di surga.

“Baiklah Cob, Terima kasih sekali lagi.”
“Apakah kamu ingin membawa lukisan ini? bawalah dan simpanlah karena lukisan ini dapat membuat kamu kembali ke masa lalu dengan keluargamu.”

Aku terdiam sejenak. Bagaimana aku harus selalu mengigat kejadian yang sangat mengerikan itu, yang merengut kedua nyawa orang tuaku, aku tak dapat membawanya pulang. Sungguh aku tak sanggup bila harus selalu mengingat kejadian itu. Sungguh aku tak sanggup.
Cobe memang tidak mengetahui bahwa aku sedari kecil telah kehilangan keluargaku. Karena aku tidak pernah bercerita kepadanya, bahwa kedua orang tuaku mati di bunuh oleh orang-orang berjubah.

“Apakah kamu ingin membawa lukisan ini pulang?”
“Tidak Cobe, Terima kasih”
“Bila kamu ingin lukisan ini, bawalah.”
“Tidak Cobe, terima kasih banyak. Baiklah aku harus pulang Cobe, Eddy mungkin sudah lama menunggu.”
“Baiklah, terima kasih telah datang Ad.”

Malam semakin melarut, lampu-lampu di jalanan itu masih saja bergemerlapan. Aku dan Eddy melangkahkan kaki kami keluar dari gerbang yang seperti Plengkung Titus itu. Udara sangatlah dingin, perlahan-lahan salju pun turun membuat jejak-jejak langkah kaki kami menghilang tertimpa salju yang turun, dan menyisakan jejak kaki baru di atas tumpukan salju yang tipis.


Yogyakarta, 12 Januari 2017

Penulis:
Eka Pranata, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Universitas Seribu Djendela (USD) Yogyakarta.

Post a Comment

0 Comments