Sutopo dan becak pustaka miliknya. (Dok. beringinrimbun) |
Matahari bersinar begitu terik di Jalan Bumijo, kota
Yogyakarta. Jam menunjukkan pukul 11.00 WIB dengan kondisi lalu lintas yang
kian ramai. Beberapa pepohonan tampak meneduhi bahu jalan tepat di atas
trotoar. Orang-orang berjalan di atas trotoar itu, sementara para tukang becak
sibuk menawarkan jasanya pada mereka. Sebuah becak terlihat berbeda dari
kejauhan – di becak tersebut terdapat buku-buku yang berjejer rapi. Ketika
didekati, tampak seorang lelaki tua sedang membaca buku di dalamnya.
Sutopo, penarik becak tersebut, menghiraukan
lalu-lalang kendaraan ketika tengah membaca buku. Terlihat sepeda motor
mendekati becak milik Sutopo. Pengendara motor itu kemudian menyerahkan
beberapa buku padanya. Sejenak lelaki tua itu meletakkan bacaannya dan
merapikan buku-buku yang baru saja diberikan untuk dibawanya setiap hari.
Merintis Becak Pustaka
Pada Juni 2017 silam, Sutopo
memutuskan memodifikasi becaknya untuk membawa buku-buku. Awalnya, buku-buku
dalam becak hanya sebanyak lima buah, tetapi semakin banyak karena pemberian
dari para penumpang. “Mulanya saya hanya mempunyai lima buku, tetapi penumpang
melihat buku dan menawarkan bukunya untuk saya. Sampai saat ini, buku-buku
berjumlah sekitar 200 buah,” katanya. Menjawab tentang sumber buku dalam becak,
ia mengatakan bahwa selain penumpang, buku diperoleh dari kiriman orang-orang
dan juga penerbit buku. Karena jumlah buku yang semakin banyak, Sutopo lalu menambahkan
rak buku untuk membawa buku-buku sebanyak 100 buah sekali mengayuh becak.
Beragam buku seperti buku kesehatan,
teknologi, novel, hingga biografi tokoh terkenal ada dalam becak Sutopo. Ia
meminjamkan buku-buku tersebut tanpa memungut biaya, tetapi peminjam harus
menjaga buku itu sehingga tetap bisa dibaca oleh orang lain. Buku-bukunya sering
dipinjam oleh sesama tukang becak, anak-anak sekolah, serta pedagang kaki lima.
Melalui buku yang dibawa, ia ingin menularkan kegemarannya membaca kepada masyarakat,
terutama anak-anak kecil karena mereka jarang membaca buku. “Saat ini anak
kecil jarang membaca buku tetapi lebih sering menggunakan ponsel, padahal belum
mengetahui tentang baik-buruk suatu hal,” ungkapnya.
Hobi Sejak Kecil
Sejak kelas 5 SD, Sutopo sudah gemar membaca. Ia
pernah tergabung sebagai anggota baca di Jefferson Library yang terletak di
Jalan Diponegoro, Yogyakarta (dekat Pasar Kranggan-red). Selain itu, ia pun pernah tergabung sebagai anggota di perpustakaan
Hatta Foundation, Yogyakarta. Dari pengalamannya tergabung dalam
komunitas-komunitas kepustakaan, ia beberapa kali berhasil menjuarai ajang
perlombaan di wilayah Yogyakarta.
“Saya ikut lomba desain becak kayuh.
Lawan semuanya mahasiswa. Saya mendapatkan hadiah karena berbeda dengan yang
lain,” terang Sutopo. Selain itu, ia meraih juara 3 saat karnaval literasi Yogyakarta
yang diadakan PT Gramedia Jakarta bekerja sama dengan jajaran Pemerintah Kota serta
Pemprov Yogyakarta, pada 20 Agustus 2017 silam. “Pengalaman paling berkesan saat
diundang sebagai tamu pada Hitam Putih di
Trans7 pada tanggal 24-25 Agustus 2017. Saat ini, anak-anak dapat melihat saya
lewat ponselnya,” tambahnya.
Di samping membaca, Sutopo gemar berolahraga sehingga
tetap bugar walaupun telah berusia 70 tahun dan pernah terserang stroke. “Saya senang berolahraga karena
orang-orang seusia saya yang jarang berolahraga mereka menjadi mudah sakit,”
jelasnya. Saat ditanya tentang jenis olahraga yang digemari, lelaki paruh baya ini
menjawab olahraganya setiap hari meliputi aerobik selama 10 menit, naik turun
trotoar sebanyak 100 kali, dan push up
sebanyak 10 kali.
Kilas Balik
Pada 1969 sampai 1971, Sutopo menempuh pendidikan di
Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang ISI). Lulus dari ASRI, ia menjadi tukang
gambar sampai tahun 1976. Pada 1977 ia ditunjuk sebagai juru gambar honorer di
koramil Yogyakarta. Tahun 1977 Sutopo ditugaskan ke Kodim 0734 Jakarta dan
bekerja di sana sampai tahun 1987. “Tahun 2003 saya pensiun sebagai juru gambar
dengan status PNS golongan 2A di TNI AD, lalu menjadi tukang becak pada 2004” ceritanya.
Terkait penghasilan sehari-hari,
Sutopo menjelaskan penghasilannya sebagai tukang becak bisa di atas Rp 50.000
per hari sebelum ojek-ojek online beroperasi
di Yogyakarta. “Penghasilan saya saat ini Rp 50.000, sebelumnya selalu di atas
Rp 50.000. Pengahasilan dari mengayuh becak sewaan disisihkan untuk membeli
becak yang saya gunakan saat ini,” kenang warga Cokrokusuman, Jetis, Yogyakarta
ini.
Setalah bertahun-tahun Sutopo menggunakan becak
sewaan, kini ia telah memiliki becak pribadi. Jumlah bukunya pun kian banyak.
Namun, jangkauan becak perpustakaannya menjadi terbatas karena beban yang
bertambah. “Saya ingin becak ini tidak lagi menggunakan tenaga penggerak
manusia, tetapi menggunakan listrik sehingga bisa lebih jauh jangkauannya,” harapnya.
Selain itu, ia ingin membuat becaknya menyerupai mobil, agar penumpang lebih
nyaman untuk menggunakan jasanya. “Saya mempunyai konsep supaya becak ini
tertutup pada bagian depan dan penumpang masuk lewat samping seperti mobil
sehingga lebih nyaman ketika naik becak,” tutupnya.
Penulis :
Vincentius Trias Prima Atmaja
Reportase bersama : Ludgeryus Angger Prapaska
Editor : Kabrina
Rian Ferdiani
0 Comments