Mbelok!


   
Ilustrasi: www.booooooom.com
Aku adalah seorang siswi yang sedang duduk di bangku sekolah menengah atas. Aku mengenalnya melalui pertemuan kami pertama kali saat dia menjadi murid baru di kelasku. Aku memang orang yang agak tertutup dengan teman-teman yang lain. Namun, perkenalanku dengan Santi berhasil membuatku nyaman dan tidak tertutup dengannya. Kita selalu bersama, menghabiskan waktu disekolah bersama hingga aku merasakan hal yang berbeda dari sikap Santi terhadapku. Awalnya aku biasa saja menanggapinya, tapi tidak untuk sore itu. Di kamar Santi, ya sepulang sekolah aku memutuskan untuk bermain di rumah Santi. Kami berdua berada di dalam kamar. Ketika aku sedang duduk di pinggiran tempat tidur asik menonton tv, tiba-tiba Santi memelukku dari belakang,berbisik di telingaku mengatakan sesuatu hal yang tak biasa. Santi semakin memelukku dengan erat,kali ini tidak hanya berbisik, dia mulai mencumbuku penuh rasa. Aku ingin melepaskan pelukannya, melarikan diri berlari sejauh mungkin, menghindar dari Santi, tapi perawakan Santi yang sudah seperti laki-laki membuatku harus pasrah tak bisa berkutik. Aneh, tubuhku merasakan sebuah kenikmatan yang luar biasa! 

    Setelah kejadian yang mungkin menurut orang lain suatu hal tidak wajar itu, aku justru merasakan kenyamanan berada di dekatnya, bahkan tidak merasa jijik terhadapnya. Sejak saat itu, kami semakin sering bersama di kamar Santi. 

    “Nek tak lihat-lihat kok kalian sekarang semakin mesra saja,” goda pak Suroto, tukang kebun sekolahku. 

    “Jangan dibilang mesra gitulah Pak. Sebut aja kita ini kompak,” Santi menjawab dengan tenang seadanya. 

    Aku yang berdiri di samping Santi langsung pura-pura sibuk dengan telepon genggamku. Tidak ada yang mengetahui bahwa sebenarnya jantungku berdebar dengan kencang. 

  Kata ‘mesra’ itu membuat aku tiba-tiba merasa bersalah dan takut. Apa benar hubunganku dengan Santi sudah melampaui batas? Apakah mereka, Pak Santo dan teman-temanku telah mengetahui hubungan ku dengan Santi? Aku rasa, kami hanya sering pergi bersama dan itu wajar-wajar saja dilakukan oleh dua orang perempuan yang bersahabat. Walaupun sebenarnya aku dan Santi lebih dari sekedar kata ‘sahabat’. 

“Tapi, nek aku ndelok kalian lagi gandengan tangan gitu, wes kaya ABG sek lagi mabuk kepayang akibat cinta,” celoteh Pak Suroto dengan raut muka yang jail menahan tawa sambil berjalan meninggalkan kami. 

   Seluruh teman-teman yang sedang berada di sekitar kami langsung menatap kami dengan curiga atas tuduhan pak Suroto terhadap aku dan Santi. 

    Gawat jantungku seperti ingin lepas dari tubuh ini, rasa cemas semakin menggebu di kepalaku. Namun aku tetap bermain telepon genggamku dan berlagak cuek di depan teman-temanku agar terlihat biasa dan berharap semua akan baik-baik saja. 

    Mengetahui raut mukaku yang tak lagi cerah, Santi menarik tanganku dan membawaku pergi. Kami berjalan menuju kelas, sampai di depan kelas Santi melepaskan genggamannya dan menatapku. 

“Sudah tenang aja. Semua akan baik-baik aja. Kamu percaya kan sama aku?” ucap Santi mencoba menenangkan perasaanku. 

   Aku menatap Santi dengan pandangan ‘bagaimana kalau ketahuan?” Mata Santi lalu seperti menegaskan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku menunduk pasrah. Aku tau Santi memang lebih tenang dan bisa menguasai keadaan. 

   Kami berdua pun masuk ke dalam kelas. Sepanjang pelajaran terakhir itu, aku hanya terdiam sambil memikirkan semuanya. Walaupun Santi mencoba membuatku tenang, tapi jantung ini tetap saja seperti ingin lepas. 

    Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Aku dan Santi segera keluar ruang kelas 

   “Kamu kenapa diam aja dari tadi pas pelajaran?” tanya Santi saat kami berdua berjalan menuju parkiran. 

   Aku mengawasi sekeliling kami. Banyak teman-teman di sekeliling kami, mereka juga berjalan menuju parkiran. 

“Aku hanya lapar.” Jawabku singkat agar tidak terlihat mencurigakan. 

“Kamu khawatir dengan kata-kata pak Suroto tadi?” tanya Santi saat kami sudah berada di dalam mobilnya. 

“Sudah aku bilang, aku lapar!” Jawabku meninggi. 

   Santi tak lagi banyak bertanya, dia berkonsentrasi mengemudikan mobilnya menuju warung makan yang biasa kita datangi. Aku pun terdiam melihat tak tentu arah selama perjalanan. 

    Sesampainya di warung, kami memilih tempat duduk yang tidak terlalu ramai. 

“Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu melindungimu. Aku janji!” Santi menatapku dengan rasa penuh keyakinan. 

“Apa kamu yakin bisa menjanjikan hidup kita damai untuk selamanya?” aku mulai ragu. 

“Kita bisa hidup bahagia berdua selamanya!” ucap Santi sambil menggenggam erat tanganku. 

    Aku tahu ini adalah hal yang salah, tapi aku terlanjur menikmatinya. 

   Belum lama aku menikmati ketenangan dan anganku yang akan hidup bersamanya. Kakak perempuanku, Dinda memergokiku saat kami sedang bercumbu di kamar Santi. Aku terperanjat melihat kakakku dan ibu Santi sudah ada di depan pintu. Ternyata kakakku sudah lama mencurigai pertemananku dengan Santi. Dinda telah mengikuti sejak pertama aku mulai dekat dengan Santi. Mungkin karena perubahan sikapku, membuat Dinda curiga terhadapku. Dengan raut muka yang masih emosi, Dinda menyeretku keluar dari kamar Santi. Santi mencoba menahanku, menggenggam erat tanganku, tapi ibu Santi berhasil menahannya lebih dulu. Aku masih bisa mendengar jeritan Santi dan dia berteriak mengatakan “Aku sangat menyanyangimu, Kintan!” 

“Aku juga sangat menyayangimu!” sahutku dalam hati. 

  Sepanjang perjalanan aku hanya tertunduk menangis, Dinda juga terdiam tak mengatakan apapun, dia berkonsentrasi mengemudikan mobil. 

“Kamu akan kakak kirim ke London, kamu akan meneruskan sekolah di sana dan hidup kembali bersama ayah ibu!” ucap Dinda sambil berjalan menuju rumah mereka. 

“Lupakan Santi, belajarlah dengan baik di sana. Ayah ibu belum mengetahui semua ini.” tambahnya. 

   Aku berlari menuju kamar, menangis sejadinya. Aku merasakan kepedihan yang amat sangat. Tak pernah aku merasakan rasa sesakit ini sebelumnya. Sejak SMP aku telah ditinggal ayah ibu yang harus bekerja di luar negeri, tapi rasanya biasa saja. Tidak seperti ini. Mengapa harus berakhir seperti ini ? Aku akan segera meninggalkannya di sini, entah apa aku bisa memulai hidup baru tanpanya. Aku pasrah. 

  Seminggu setelah kejadian itu, aku benar-benar pergi meninggalkannya bersama kenangan indah kami. Tak pernah ada lagi komunikasi antara kami berdua. Yang tersisa hanya ingatan-ingatan tentangnya. 



Penulis: Karunia Majid 



Post a Comment

0 Comments