Keyakinan Terhadap CIta-Cita Luhur



Romo Marihot. (Dok. Pribadi)


Terik yang menyengat kota Jogja, tampak tak mampu menembus rindangnya pepohonan yang menaungi Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan. Hawa sejuk menyentuh kulit saat angin dari berbagai penjuru memainkan ranting dan daun-daun. Dari Jalan Kaliurang, tampak gedung-gendung putih berlantai dua, tempat para frater dan pastor bernaung. Di tempat itu, para frater dan pastor dibekali berbagai ilmu untuk menjadi seorang imam. Salah satunya adalah Romo Marihot. Ia tinggal di Seminari Kentungan sembari melanjutkan studi pastoralnya.
Romo kelahiran Parsoburan, 9 Juli 1980 ini, memiliki nama lengkap RD. Marihot Simajuntak. Senyumnya selalu ramah saat bertemu dengan orang lain. Beliau mudah akrab dengan orang baru. Pria berkacamata ini selalu mengenakan pakain sederhana seperti saat ditemui redaksi beringinrimbun di kediamanya, pada Selasa (20/11/2018).
Romo berkulit kecokelatan ini sedang menempuh pendidikan Magister Teologi di Universitas Sanata Dharma (USD). Hal tersebut tak menghalangi kewajibannya sebagai pelayan umat. Ia becerita bahwa saat tidak ada kuliah, ia menyepakati diri membantu pelayanan misa di beberapa paroki terdekat seperti Babarsari, Melati, dan Kalasan. Selain itu, ia juga kerap diminta mendampingi kelompok-kelompok orang muda dalam rekoleksi atau retret.
Romo yang berasal dari suku Batak Toba ini memiliki kisah menarik tentang perjalanan hidupnya menjadi seorang pastor. Seperti yang diketahui, suku Batak menganut paham patrilineal yang mengharuskan seorang anak laki–laki menjadi penerus marga. Hal tersebut juga berlaku bagi Romo Marihot, terlebih lagi ia merupakan anak pertama. Ia mengaku bahwa keputusannya menjadi seorang pastor pada awalnya sulit diterima masyarakat, bahkan di keluarganya sendiri. 
Romo Marihot tidak menyalahkan aturan tersebut, ia memandang tradisi anak pertama sebagai pewaris keturunan tidak bisa diganggu gugat karena sudah berlangsung turun temurun. Walaupun masyarakat awalnya tidak menerima, ia mengatakan bahwa perlahan-lahan mereka sadar serta paham dengan melihat cara hidup yang ia jalani dan tunjukkan.
Cita–citanya menjadi pastor pada awalnya tidak mendapat dukungan dari keluarga. “Mereka masih ragu–ragu dengan pilihan saya. Keluarga ayah saya bukan Katolik, keluarga ibu saya bukan Katolik, sehingga cita–cita saya menjadi pastor bagi mereka asing dan aneh. Mereka juga tahu bahwa menjadi pastor itu tidak berkeluarga. Dalam budaya Batak Toba, itu sesuatu yang sulit diterima pada masyarakat,” tuturnya.
Penolakan yang diberikan keluarga tidak menyurutkan niatnya. Perlahan tapi pasti, usaha dan kegigihannya membuahkan hasil. Keluarga yang awalnya menolak, kini berbalik mendukungnya. “Saya berjuang menata hidup saya sesuai dengan keinginan saya pribadi menjadi pastor, orang tua melihat perubahan itu dan akhirnya mendukung,” terangnya sambil tersenyum. Bahkan, ia berkisah bahwa dukungan tersebut semakin besar dan menjadi motivasi bagi dirinya untuk menggapai cita–citanya.
“Orang yang paling mendukung saya menjadi pastor sejak dulu itu Bapak saya. Bapak mendukung saya setelah melihat perubahan pada diri saya sendiri,” cerita Romo Marihot. Sosok  tersebutlah yang mampu membuatnya terus bertahan dan berjuang pada jalan hidup yang dia pilih.
Ia memiliki suatu momen yang membuatnya semakin yakin akan dukungan keluarga. Suatu waktu, Romo yang menempuh pendidikan di seminari sejak 1995 ini, hendak menguji apakah pihak keluarga mendukung pilihannya menjadi pastor. Dengan berbohong, ia menyatakan pada keluarga bahwa ingin keluar dari seminari dan hendak melamar ke perguruan tinggi. “Saya kira Bapak saya akan senang dengan keputusan itu, tapi dia katakan begini, ‘Dulu yang memilih masuk seminari itu kamu, bukan kami yang memaksa. Nah setelah tiga tahun kamu di sana dan kamu memutuskan untuk keluar, itu namanya bermain–main. Jadi, sepala basah lebih baik mandi,’kenangnya. Kata-kata tersebut selalu dia ingat sampai saat ini. Kejadian itu pun membuatnya semakin yakin dan  bersemangat menjalani panggilan hidupnya.
Namun, ada suatu momen mengharukan yang dialami Romo Marihot. Sosok ayah yang selama ini paling mendukung jalan hidup pilihannya dan menjadi sumber motivasinya, tidak bisa menyaksikan peristiwa pentahbisannya menjadi seorang imam. Sosok tersebut telah lebih dahulu dipanggil Tuhan. “Itu suatu peristiwa yang meneguhkan dalam hidup saya,” katanya. Ia melanjutkan, “Saat saya ditahbisan, orang pertama yang ingin saya ucapkan terima kasih telah pergi dipanggil Bapa ke surga. Saya merasa tidak sempat membayar hutang budi segala perjuangannya mendukung saya. Namun saya merasa bahwa dia bahagia di surga” tambahnya.
Romo Marihot mewujudkan rasa terima kasihnya kepada sang ayah lewat pemberkatan perkawinan tiga adiknya. “Itu merupakan suatu kebanggaan pula bagi saya yang tak mungkin orang lain lakukan kalau bukan jadi imam,” tutupnya mengakhiri perbincangan.

Penulis : Harpindo Ginting dan Rizky Nugroho
Editor   : Kabrina Rian Ferdiani

Post a Comment

0 Comments